SEJARAH
Tulungagung terdapat dua kata,
tulung dan agung, tulung artinya sumber, sedangkan agung artinya besar. Dalam pengartian
berbahasa Jawa tersebut, Tulungagung adalah daerah
yang memiliki sumber air yang besar. Sebelum dibangunnya Dam Niyama di
Tulungagung Selatan oleh pendudukan tentara Jepang, di mana-mana di daerah
Tulungagung hanya ada sumber air saja. penamaan nama ini dimulai ketika ibu
kota Tulungagung mulai pindah di tempat sekarang ini. Sebelumnya ibu kota
Tulungagung bertempat di daerah Kalangbret dan diberi nama Kadipaten Ngrowo
(Ngrowo juga berarti sumber air). Perpindahan ini terjadi sekitar 1906 Masehi (http://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Tulungagung).
Kesenian
Untuk
kesenian, secara global di daerah Tulungagung masih memegang teguh tradisi
nenek monyak, yang di antranya yaitu :
a.
Upacara
Adat Manten Kucing
Tradisi
itu merupakan bagian dari upaya warga untuk memohon turunnya hujan manakala
terjadi musim kemarau panjang. Prosesi ritual ini menampilkan sejumlah
keunikan. Misalnya, ketika pasangan manten kucing dipertemukan menjadi
pengantin di pelaminan, beberapa wanita tua ikut tampil melantunkan tembang
dolanan khas Jawa. “Uyek-uyek ranti, ono bebek pinggir kali, nuthuli pari sak
uli, Tithit thuiiit… kembang opo? Kembang-kembang menur, ditandur neng pinggir
sumur, yen awan manjing sak dulur, yen bengi dadi sak kasur,” Begitu syair
tembang dolanan berbahasa Jawa yang dilantunkan seraya memegangi dua tangan
pasangan pengantin kucing. Usai melantunkan tembang dolanan, mereka
melempar-lemparkan buah pisang ke arah ribuan warga. Karuan saja, warga yang
berjubel menyaksikan jalannya ritual “Temanten Kucing’ saling berebut buah
pisang yang diyakini bisa memberikan berkah. Selanjutmya warga menyediakan
ambengan lengkap dalam jumlah banyak (http://budparpora.wordpress.com).
b. Seni
Tradisional Tiban
Merupakan suatu permainan adu
kekuatan daya tahan tubuh dengan menggunakan Cambuk sebagai senjatanya. Dalam
seni tradisional Tiban, beberapa warga saling adu kekuatan dengan saling cambuk
menggunakan lidi pohon aren yang dipilin. Tanpa mengenakan baju, sepasang warga
bergantian adu cambuk hingga berdarah-darah. Ini juga bagian dari ritual untuk
memohon turunnya hujan. Istilah Tiban muncul pada zaman pemerintahan Tumenggung
Surontani II. Hal ini dimaksudkan untuk mencari bibit-bibit prajurit yang
tnngguh dan gagah perkasa yang nantinya akan dipersiapkan untuk menghadapi
Kerajaan Mataram. Masyarakat Wajak mempunyai cara tersendiri dalam
mempersiapkan diri sebagai jagoan Tiban yang handal. Persiapan khusus yang
dilakukan oleh Jagoan Tiban antara lain pada malam hari sebelum hari pelaksanaan
Tiban mereka tidur di dekat makam para pendiri daerah Wajak, khususnya di dekat
kuburan Tumenggung Surontani II selaku pelaksana Tiban awal mulanya daerah
Wajak (http://www.mataram-timur.com).
c.
Siraman Pusaka Tombak Kyai Upas
Tahapan persiapan antara lain
mengumpulkan segala macam sesaji antara lain air 7 sumber serta berbagai macam
ayam. Memasak segala macam sesaji/ tumpeng sejumlah 46 macam. Acara
dilaksanakan di Pendopo Kanjengan Kelurahan Kepatihan, Kec./Kab.
Tulungagung yang
diadakan pada Hari Jum’at setelah tanggal 10 bulan Sura. Adapun pelaksanaan siraman diawali
Kirab Srana Mulya (berupa air dan beberapa ayam) dari pendopo Kabupaten. Urutan
acara biasanya dimulai acara siraman yang diiringi pembacaan legenda Kyai Upas,
sambutan pejabat daerah, siraman pusaka dengan diiringi tahlilan, berakhir
dengan selamatan dan pada malam harinya dilaksanakan pergelaran wayang kulit
semalam suntuk (http://adistynur.blogspot.com).
d.
Pitonan
Bayi yang berusia tujuh neton (dalam
bahasa jawa) tersebut dimandikan dengan air yang dicampur dengan
bunga setaman. Istilah bunga setaman ini muncul karena bunga yang digunakan
adalah bunga-bunya yang ada di taman seperti bunga mawar, melati, bugenvil, dan
beberapa bunga rumput. Setelah bayi dimandikan, bayi itu lalu didandani: dipupuri,
diberi pakaian yang bagus, dan diberi mahkota dari janur. Dipupuri
itu diberi bedak, tapi bukan sembarang bedak, melainkan bedak bayi yang wangi
lalu dipakaikan baju yang bagus (biasanya baju baru): kalau cewek pakai rok,
kalau cowok pakai celana. Dandan terakhir, dipakaikan mahkota dari janur.
Mahkota ini bermakna: semoga adik bayi bisa menjadi pemimpim seperti raja.
Setelah mempercantik dan memperganteng diri selesai. Adik bayi yang sudah
seperti bidadari dan malaikat digendong orang tua dan berfoto ria. Selesai
berfoto, beralih ke sebuah tempat yang cukup lapang. Ada dua benda di sana,
tangga dari tebu yang dihias kertas sumbo dan kurungan yang juga
berhias kertas sumbo plus ayam jago di dalamnya.
Dibantu orang tuanya, khususnya sang
bapak, adik bayi tersebut naik tangga. Tangga yang terbuat dari tebu itu
memiliki tujuh anak tangga. Artinya: semoga adik bayi ini nanti dapat mencapai
langit ketujuh atau surga. Kenapa musti tebu? Karena tebu itu manis sehingga
jalan yang ditempuh untuk mencapai nirwana tidak pahit dan mulus. Pada bagian
ini, orang-orang yang merupakan tetangga sekitar dan sanak sodara bertepuk
tangan riuh dan memberi semangat. Apalagi waktu adik bayinya duduk di puncak
tangga. Setelah naik tangga, saatnya masuk ke kurungan ayam. Bayi ditemani oleh
orang lain, bisa sodara bisa tetangga. Di dalam kurungan itu hanya ada ayam.
Ini sebagai lambang keberanian, karena manusia sekecil itu harus berani
memegang ayam, juga makna dari ayam jago itu sendiri yang bagi masyarakat di
desa saya sebagai lambang seorang pemberani. Selanjutnya sesi membagi-bagi
rejeki. Sesi bagi-bagi rejeki ini ada dua bagian: yaitu selamatan yang dihadiri
anak-anak dan selamatan yang dihadiri bapak-bapak. Selamatan anak-anak ini
namanya kenduren lumpang (http://beingnubie.wordpress.com).
e.
Tayub
(Lelangen Beksa)
Tidak seluruh Tayub identik dengan hal-hal yang negatif. Dalam
Tayub, ada kandungan nilai-nilai positif yang adiluhung. Tayub merupakan simbol
yang kaya makna tentang pemahaman kehidupan dan punya bobot filosofis tentang
jati diri manusia. Tayub juga diyakini memiliki kandungan nilai agamis. Hal itu
terjadi pada abad XV, ketika Tayub digunakan sebagai media syiar agama Islam di
pesisir utara Jawa oleh tokoh agama Abdul Guyer Bilahi, yang selalu mengawali
pagelaran ayub dengan dzikir untuk mengagungkan asma Allah. Budaya kejawen
penganut paham tasawuf menilai Tayub kaya kandungan filosofis akan gambaran
jati diri manusia lengkap dengan anasir keempat nafsunya. Dalam tarian itu
selalu ada penari pria yang menjadi tokoh sentral, sebagai visualisasi
keberadaan Mulhimah. Kemudian dilengkapi dengan empat penari pria pendamping,
yang disebut sebagai pelarih, sebagai penggambaran anasir empat nafsu manusia,
terdiri atas aluamah (hitam), amarah (merah), sufiah (kuning) dan mutmainah
(putih).
Selain itu, pemeran penari tledhek wanita sebagai penggambaran
dari cita-cita keselarasan hidup yang diidamkan manusia. Yang inti kesimpulannya, untuk
meraih cita-cita, harus terlebih dahulu mampu mengendalikan anasir empat nafsu.
Yang ini identik dengan pakem wayang lakon Harjuno Wiwoho-Dewi Suprobo, kata Poedjosiswoyo. Di Tulungagung,
Tayub juga dikenal sebagai Lelangen Beksa. Kesenian ini berpotensi sebagai
sarana pergaulan yang merakyat dan aktual. Hampir di setiap bulan
"baik", Lelangen Beksa digelar untuk acara hajatan di daerah
pinggiran Tulungagung (http://wiki.aswajanu.com).
f.
Reog
Tulungagung
Reog Tulungagung merupakan gubahan tari rakyat, menggambarkan
arak-arakan prajurit Kedhirilaya tatkala mengiringi pengantin “Ratu Kilisuci“
ke Gunung Kelud, untuk menyaksikan dari dekat hasil pekerjaan Jathasura,
sudahkah memenuhi persyaratan pasang-girinya atau belum. Dalam gubahan Tari
Reog ini barisan prajurit yang berarak diwakili oleh enam orang penari.
Yang ingin dikisahkan dalam tarian tersebut ialah, betapa sulit
perjalanan yang harus mereka tempuh, betapa berat beban perbekalan yang mereka
bawa, sampai terbungkuk-bungkuk, terseok-seok, menuruni lembah-lembah yang
curam, menaiki gunung-gunung, bagaimana mereka mengelilingi kawah seraya
melihat melongok-longok ke dalam, kepanikan mereka, ketika “Sang Puteri“
terjatuh masuk kawah, disusul kemudian dengan pelemparan batu dan tanah yang
mengurug kawah tersebut, sehingga Jathasura yang terjun menolong “Sang Puteri“
tewas terkubur dalam kawah, akhirnya kegembiraan oleh kemenangan yang mereka
capai (http://wiki.aswajanu.com).
Blog kamu keren gan,aku baca terus setiap malam. Jika pengen beli motor area Tulungagung,Kediri,Trenggalek,mampir ke dealerku gan www.guskecil.top
BalasHapus