Laman

Rabu, 17 September 2014

KEBUDAYAAN DAERAH TULUNGAGUNG – JAWA TIMUR

 SEJARAH
Tulungagung terdapat dua kata, tulung dan agung, tulung artinya sumber, sedangkan agung artinya besar. Dalam pengartian berbahasa Jawa tersebut, Tulungagung adalah daerah yang memiliki sumber air yang besar. Sebelum dibangunnya Dam Niyama di Tulungagung Selatan oleh pendudukan tentara Jepang, di mana-mana di daerah Tulungagung hanya ada sumber air saja. penamaan nama ini dimulai ketika ibu kota Tulungagung mulai pindah di tempat sekarang ini. Sebelumnya ibu kota Tulungagung bertempat di daerah Kalangbret dan diberi nama Kadipaten Ngrowo (Ngrowo juga berarti sumber air). Perpindahan ini terjadi sekitar 1906 Masehi (http://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Tulungagung).

Kesenian
Untuk kesenian, secara global di daerah Tulungagung masih memegang teguh tradisi nenek monyak, yang di antranya yaitu :
a.      Upacara Adat Manten Kucing
Tradisi itu merupakan bagian dari upaya warga untuk memohon turunnya hujan manakala terjadi musim kemarau panjang. Prosesi ritual ini menampilkan sejumlah keunikan. Misalnya, ketika pasangan manten kucing dipertemukan menjadi pengantin di pelaminan, beberapa wanita tua ikut tampil melantunkan tembang dolanan khas Jawa. “Uyek-uyek ranti, ono bebek pinggir kali, nuthuli pari sak uli, Tithit thuiiit… kembang opo? Kembang-kembang menur, ditandur neng pinggir sumur, yen awan manjing sak dulur, yen bengi dadi sak kasur,” Begitu syair tembang dolanan berbahasa Jawa yang dilantunkan seraya memegangi dua tangan pasangan pengantin kucing. Usai melantunkan tembang dolanan, mereka melempar-lemparkan buah pisang ke arah ribuan warga. Karuan saja, warga yang berjubel menyaksikan jalannya ritual “Temanten Kucing’ saling berebut buah pisang yang diyakini bisa memberikan berkah. Selanjutmya warga menyediakan ambengan lengkap dalam jumlah banyak (http://budparpora.wordpress.com).
b.      Seni Tradisional Tiban
Merupakan suatu permainan adu kekuatan daya tahan tubuh dengan menggunakan Cambuk sebagai senjatanya. Dalam seni tradisional Tiban, beberapa warga saling adu kekuatan dengan saling cambuk menggunakan lidi pohon aren yang dipilin. Tanpa mengenakan baju, sepasang warga bergantian adu cambuk hingga berdarah-darah. Ini juga bagian dari ritual untuk memohon turunnya hujan. Istilah Tiban muncul pada zaman pemerintahan Tumenggung Surontani II. Hal ini dimaksudkan untuk mencari bibit-bibit prajurit yang tnngguh dan gagah perkasa yang nantinya akan dipersiapkan untuk menghadapi Kerajaan Mataram. Masyarakat Wajak mempunyai cara tersendiri dalam mempersiapkan diri sebagai jagoan Tiban yang handal. Persiapan khusus yang dilakukan oleh Jagoan Tiban antara lain pada malam hari sebelum hari pelaksanaan Tiban mereka tidur di dekat makam para pendiri daerah Wajak, khususnya di dekat kuburan Tumenggung Surontani II selaku pelaksana Tiban awal mulanya daerah Wajak (http://www.mataram-timur.com).

c.       Siraman Pusaka Tombak Kyai Upas
Tahapan persiapan antara lain mengumpulkan segala macam sesaji antara lain air 7 sumber serta berbagai macam ayam. Memasak segala macam sesaji/ tumpeng sejumlah 46 macam. Acara dilaksanakan di Pendopo Kanjengan Kelurahan Kepatihan, Kec./Kab. Tulungagung  yang diadakan pada Hari Jum’at setelah tanggal 10 bulan Sura. Adapun pelaksanaan siraman diawali Kirab Srana Mulya (berupa air dan beberapa ayam) dari pendopo Kabupaten. Urutan acara biasanya dimulai acara siraman yang diiringi pembacaan legenda Kyai Upas, sambutan pejabat daerah, siraman pusaka dengan diiringi tahlilan, berakhir dengan selamatan dan pada malam harinya dilaksanakan pergelaran wayang kulit semalam suntuk (http://adistynur.blogspot.com).
d.      Pitonan
Bayi yang berusia tujuh neton (dalam bahasa jawa) tersebut dimandikan dengan  air yang dicampur dengan bunga setaman. Istilah bunga setaman ini muncul karena bunga yang digunakan adalah bunga-bunya yang ada di taman seperti bunga mawar, melati, bugenvil, dan beberapa bunga rumput. Setelah bayi dimandikan, bayi itu lalu didandani: dipupuri, diberi pakaian yang bagus, dan diberi mahkota dari janur. Dipupuri itu diberi bedak, tapi bukan sembarang bedak, melainkan bedak bayi yang wangi lalu dipakaikan baju yang bagus (biasanya baju baru): kalau cewek pakai rok, kalau cowok pakai celana. Dandan terakhir, dipakaikan mahkota dari janur. Mahkota ini bermakna: semoga adik bayi bisa menjadi pemimpim seperti raja. Setelah mempercantik dan memperganteng diri selesai. Adik bayi yang sudah seperti bidadari dan malaikat digendong orang tua dan berfoto ria. Selesai berfoto, beralih ke sebuah tempat yang cukup lapang. Ada dua benda di sana, tangga dari tebu yang dihias kertas sumbo dan kurungan yang juga berhias kertas sumbo plus ayam jago di dalamnya.
Dibantu orang tuanya, khususnya sang bapak, adik bayi tersebut naik tangga. Tangga yang terbuat dari tebu itu memiliki tujuh anak tangga. Artinya: semoga adik bayi ini nanti dapat mencapai langit ketujuh atau surga. Kenapa musti tebu? Karena tebu itu manis sehingga jalan yang ditempuh untuk mencapai nirwana tidak pahit dan mulus. Pada bagian ini, orang-orang yang merupakan tetangga sekitar dan sanak sodara bertepuk tangan riuh dan memberi semangat. Apalagi waktu adik bayinya duduk di puncak tangga. Setelah naik tangga, saatnya masuk ke kurungan ayam. Bayi ditemani oleh orang lain, bisa sodara bisa tetangga. Di dalam kurungan itu hanya ada ayam. Ini sebagai lambang keberanian, karena manusia sekecil itu harus berani memegang ayam, juga makna dari ayam jago itu sendiri yang bagi masyarakat di desa saya sebagai lambang seorang pemberani. Selanjutnya sesi membagi-bagi rejeki. Sesi bagi-bagi rejeki ini ada dua bagian: yaitu selamatan yang dihadiri anak-anak dan selamatan yang dihadiri bapak-bapak. Selamatan anak-anak ini namanya kenduren lumpang (http://beingnubie.wordpress.com).
e.       Tayub (Lelangen Beksa)
Tidak seluruh Tayub identik dengan hal-hal yang negatif. Dalam Tayub, ada kandungan nilai-nilai positif yang adiluhung. Tayub merupakan simbol yang kaya makna tentang pemahaman kehidupan dan punya bobot filosofis tentang jati diri manusia. Tayub juga diyakini memiliki kandungan nilai agamis. Hal itu terjadi pada abad XV, ketika Tayub digunakan sebagai media syiar agama Islam di pesisir utara Jawa oleh tokoh agama Abdul Guyer Bilahi, yang selalu mengawali pagelaran ayub dengan dzikir untuk mengagungkan asma Allah. Budaya kejawen penganut paham tasawuf menilai Tayub kaya kandungan filosofis akan gambaran jati diri manusia lengkap dengan anasir keempat nafsunya. Dalam tarian itu selalu ada penari pria yang menjadi tokoh sentral, sebagai visualisasi keberadaan Mulhimah. Kemudian dilengkapi dengan empat penari pria pendamping, yang disebut sebagai pelarih, sebagai penggambaran anasir empat nafsu manusia, terdiri atas aluamah (hitam), amarah (merah), sufiah (kuning) dan mutmainah (putih).
Selain itu, pemeran penari tledhek wanita sebagai penggambaran dari cita-cita keselarasan hidup yang diidamkan manusia. Yang inti kesimpulannya, untuk meraih cita-cita, harus terlebih dahulu mampu mengendalikan anasir empat nafsu. Yang ini identik dengan pakem wayang lakon Harjuno Wiwoho-Dewi Suprobo, kata Poedjosiswoyo. Di Tulungagung, Tayub juga dikenal sebagai Lelangen Beksa. Kesenian ini berpotensi sebagai sarana pergaulan yang merakyat dan aktual. Hampir di setiap bulan "baik", Lelangen Beksa digelar untuk acara hajatan di daerah pinggiran Tulungagung (http://wiki.aswajanu.com).
f.       Reog Tulungagung
Reog Tulungagung merupakan gubahan tari rakyat, menggambarkan arak-arakan prajurit Kedhirilaya tatkala mengiringi pengantin “Ratu Kilisuci“ ke Gunung Kelud, untuk menyaksikan dari dekat hasil pekerjaan Jathasura, sudahkah memenuhi persyaratan pasang-girinya atau belum. Dalam gubahan Tari Reog ini barisan prajurit yang berarak diwakili oleh enam orang penari.
Yang ingin dikisahkan dalam tarian tersebut ialah, betapa sulit perjalanan yang harus mereka tempuh, betapa berat beban perbekalan yang mereka bawa, sampai terbungkuk-bungkuk, terseok-seok, menuruni lembah-lembah yang curam, menaiki gunung-gunung, bagaimana mereka mengelilingi kawah seraya melihat melongok-longok ke dalam, kepanikan mereka, ketika “Sang Puteri“ terjatuh masuk kawah, disusul kemudian dengan pelemparan batu dan tanah yang mengurug kawah tersebut, sehingga Jathasura yang terjun menolong “Sang Puteri“ tewas terkubur dalam kawah, akhirnya kegembiraan oleh kemenangan yang mereka capai (http://wiki.aswajanu.com).

1 komentar:

  1. Blog kamu keren gan,aku baca terus setiap malam. Jika pengen beli motor area Tulungagung,Kediri,Trenggalek,mampir ke dealerku gan www.guskecil.top

    BalasHapus